Namaku
Arif, seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri yang ada di Karawang. Berhubung
sekarang sedang liburan semester dan aku pun jenuh dengan kehidupan kota, jadi ku
putuskan untuk menghabiskan waktu liburan di rumah Nenek ku yang berada di
suatu kampung yang cukup pedalaman di kota Lampung. Ku sebut cukup pedalaman,
karena memang tempat tersebut sangat jauh dari pusat kota, tidak ada sinyal,
bahkan listrik pun masih cukup sulit. Tapi setidaknya di sana aku bisa mendapatkan
suasana pedesaan asri yang tidak mungkin bisa didapatkan di lingkungan kostan
dekat kampus ku.
Singkat
cerita, pada suatu malam aku iseng-iseng ingin melakukan hobbyku yaitu
fotografi. Berhubung sedang di kampung, jadi ku putuskan untuk keluar dan
memotret gemerlapnya bintang-bintang yang tak mungkin bisa ditemukan di langit
malam Karawang dekat kostan.
“Kamera siap, Lensa
siap, Tripod ada, Remote shutter ada, Kopi, Gelas, Air panas, Cemilan, Lampu
senter. OK semua siap” ucap ku sambil mendata semua peralatan yang akan di
butuhkan untuk memotret bintang malam ini.
Setelah
semua peralatan siap, langsung ku keluarkan motor dari ruang tamu dan pamit
untuk pergi keluar malam ini.
Ditemani
motor butut yang sudah usang, aku pergi berkeliling di sekitar kampung untuk
mencari tempat yang cocok untuk motret malam ini. “Padahal baru jam 10 malem,
tapi rasa dinginnya nusuk sampai ke tulang” ujar ku sambil terus berkeliling
bahkan hingga ke kampung sebelah.
Sepanjang
perjalanan, earphone putih terus melekat pada telingaku, alunan musik barat
terus berdendang untuk mengurangi rasa bosan selama berkeliling mencari spot
foto, karena memang sepanjang jalan hanya rasa sunyi dan dinginnya angin malam
yang menemani, bahkan tidak ada satupun orang yang berpapasan dengan ku.
Setelah
pergi cukup jauh, tiba-tiba sepasang mata ini mengunci target dengan cepat,
yaitu sebuah spot foto yang sangat menarik. Tanpa pikir panjang aku langsung
tancap gas ke tempat tersebut. Lapangan yang cukup luas dengan sebuah pohon
beringin besar yang terlihat sudah cukup tua.
“Wah gila, bagus bener
nih tempat. Pohon beringinnya cocok nih buat dijadiin objek foto di bawah
bintang” kata ku merasa beruntung.
Sesaat
setelah aku mengatakan hal tersebut, dengan tiba-tiba motor yang ku tunggangi
mati begitu saja.
“Dehhh motor mogok nih
? Emang udah waktunya masuk museum nih motor. Untung aja mogoknya di tempat
yang pas” keluh ku tanpa ada pikiran apapun yang aneh-aneh.
Tidak
pakai lama, langsung saja ku bongkar semua isi tas untuk mempersiapkan semua
alat motret beserta kopi dan cemilan untuk menemani malam ini. Karena kali ini foto
yang akan aku ambil adalah jejak bintang atau dalam istilah fotografi adalah “star trails. Untuk membuat foto tersebut
dibutuhkan kesabaran dan hasil foto dengan jumlah yang banyak, maka tentu malam
ini akan menjadi malam yang panjang.
Di
saat kamera sedang ku setting dengan pengaturan tertentu, entah kenapa tiba
tiba aku merasa kalau suasana di tempat ini agak mencekam, dan hawa di tempat
ini seakan-akan terasa semakin dingin dari sebelumnya.
“Ah kenapa tadi gua ga
bawa speaker buat nyetel musik yaa, Duh.” Ucap ku keras-keras untuk mengurangi
rasa takut yang mulai mendekap.
Kemudian
ketika aku sedang serius memutar ring lensa untuk mengunci fokus kamera,
tiba-tiba dari lcd kamera terlihat ada bayangan putih yang lewat dengan sangat
cepat bagai angin berlalu.
“Apaan tuh ?”
Aku
mulai agak panik karena hal tersebut. Pandanganku secara acak mulai menyusuri
tiap inchi lapangan tersebut, namun tidak terdapat apapun kecuali pohon beringin
besar yang ada di depanku.
“Ah paling cuma
perasaan gua doang”
Kalimat
pamungkas itu keluar untuk menenangkan tubuh ku yang dibuat tegang oleh
kejadian barusan. Karena memang sayang kalau langsung pulang tanpa hasil
apa-apa. Setelah settingan kamera selesai, remote shutter ku tekan untuk mulai
mengabadikan keindahan bintang-bintang di tanah sumatera ini.
Jam
tangan menunjukkan pukul satu dini hari. Tanpa terasa sudah lebih dari 2 jam aku
berada di tempat ini. Amunisi kopi dan cemilan sudah habis, kamera juga telah
merekam lebih dari 100 buah foto.
“Kenapa gua ga sekalian
bkin vlog aja ya. Kan lumayan buat ngisi channel youtube gua.” Pikirku sebelum
merapihkan peralatan dan pulang.
“What’s up guys ?
Ketemu lagi sama gua, kali ini gua bakal ngajarin kalian cara bikin foto star
trail”
Ku
gunakan kamera depan HP yang di bantu lighting dari senter yang tadi kuganakan
untuk penerangan dalam membuat video tersebut. Tapi aktivitas ku terhenti
ditengah-tengah vlog ketika ku dapati dari layar HP sebuah bayangan putih yang
seperti meloncat-loncat berada jauh di belakang.
“Apaan tuh putih-putih
?” seru ku sambil memicingkan mata menatap layar HP.
“Masa iya malem-malem
gini ada orang maen loncat-loncatan di lapangan ? Gabut amat tuh orang.”
Lalu
dengan tiba-tiba dia berhenti dan berbelok menghadap kearahku sambil terus
meloncat. Karena masih penasaran, akhirnya aku berbalik badan dan setelah ku
perhatikan dengan seksama, mulai tampak dengan jelas raut wajah rusak tak
beraturan berwarna hitam pekat dengan sebuah mata merah bulat menyala yang
dibalut dalam kain kafan putih kotor kecokelatan.
“Pooo-Pooo-Poooocong........”
Aku
sontak berteriak keras-keras ketika pocong tersebut semakin mendekat. Tidak
pakai lama, langsung saja aku berlari menuju motor tua yang tadi mogok di
pinggir lapangan.
“Oh iya kamera gua!”
seru ku teringat kamera lupa belum di bawa.
Ketika
membalikkan badan untuk mengambil kamera, tiba-tiba ku dapati pocong tersebut
sudah berada persis di dekat ku.
“Aaaaaaaa”
Aku
teriak refleks karena terkejut melihat wajah rusak pocong itu dari dekat.
Alhasil aku langsung lari menuju motor tanpa peduli lagi dengan kamera. Rasa
panik dan takut yang bercampur aduk membuat ku tidak bisa memasukkan kontak
motor dengan benar.
“Ah sial, nih motor
kenapa ga mau nyala ?” umpat ku.
Teringat
kalau motor tadi mogok membuat rasa panik ku semakin menjadi-jadi.
“Kenapa mas ?”
Suara
perempuan terdengar dari jok belakang dan aku pun merasakan kalau ada tangan
yang menyentuh pundak sebelah kiri ku. Dengan didekap rasa takut, aku
memberanikan diri untuk berbalik menoleh secara perlahan. Dengan sangat
mengejutkan, aku mendapati sosok perempuan berambut panjang urak-urakan dengan
muka pucat pasi serta raut wajah yang muram tengah duduk di jok belakang. Mulutnya
membuka kecil dan nampak gigi taring berwarna kuning kehitaman yang kemudian
disusul dengan suara tawa khasnya.
“Kuuuu, Kuuuuu,
Kuuuntilanak!!!!!”
Aku
berteriak sejadi-jadinya ketika mengetahui ada sosok makhluk astral berada
hanya beberapa senti di belakangku. Tanpa pikir panjang langsung ku ambil
langkah seribu untuk pergi sejauh mungkin tanpa peduli lagi dengan kamera dan
motor yang masih tertinggal di tempat tersebut.
Hampir
2km aku berlari dengan terbirit-birit, dan tak ada satu pun orang atau
kendaraan yang berpapasan sejauh aku berlari. Merasa sudah cukup aman, aku
mulai mengurangi kecepatan berlari dan kemudian berhenti, karena memang kedua
kaki ini dihinggapi rasa capek dan juga gemetar yang bukan main karena rasa
takut tersebut.
Penerangan
jalan utama yang buruk karena hanya mengandalkan penerangan dari sinar bulan
membuat bulu kuduk tak henti-hentinya berdiri. Keadaan itu diperburuk dengan
fakta bahwa aku lupa jalan pulang. Lalu dengan samar-samar kudapati dari
kejauhan ada sebuah cahaya yang sepertinya berasal dari seseorang yang berjalan
mendekat dengan membawa obor.
“Permisi Kek, arah ke
dusun5 lurus atau belok kanan ya Kek ?” tanyaku berusaha tetap sopan walau
dengan nafas terengah-engah.
Kakek
yang berbadan bungkuk tersebut tidak menjawab dan hanya terus berjalan saja.
“Permisi Kek!” seru ku
agak tegas.
Lalu
sang kakek pun berbalik muka tanpa menjawab pertanyaan yang sudah aku ajukan.
“Ya Allah, Ya Robbi”
Kembali
ku ambil langkah seribu tanpa peduli apakah arah yang ku ambil ini benar atau
salah, karena memang ketika Kakek tadi berbalik muka, tidak nampak bagian
mulut, mata, ataupun hidungnya alias wajahnya rata. Jantung ku terasa ingin lepas
dari tempatnya akibat semua penampakan yang ku lihat malam ini.
Setelah cukup jauh aku berlari tanpa arah yang jelas,
akhirnya aku berhasil sampai di depan pintu rumah dengan selamat.
“Mbah, Mbah... Buka
pintunya...” sambil ku ketuk-ketuk pintu rumah karena aku takut akan ada
kejadian aneh lagi
Baru beberapa saat aku mengetuk-ketuk pintu,
bukan pintu yang terbuka tetapi justru terdengar suara tawa perempuan berjubah
putih tadi dari pohon bambu yang berada tidak jauh di belakang ku. Sontak saja
hal itu membuat rasa takut ku semakin menjadi-jadi. Pintu terus ku gedor-gedor
dengan sekuat tenaga agar nenek cepat membukakan pintu.
Pintu pun terbuka “Ono
opo toh dek, ngetok pintu kok kayak orang habis dikejar setan aja...”
Tanpa
peduli pertanyaan tersebut aku langsung masuk kerumah, dan berlari secepat
mungkin ketempat tidur serta berselimut rapat-rapat. Aku bener-bener capek dan tidak
habis pikir dengan semua kejadian malam ini. Semoga saja kamera dan motor ku
baik-baik aja hingga mentari menjelang.
Suara kokokkan ayam membangunkan ku. Langsung aku mengecek
handphone dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Masih teringat
dengan jelas di kepala ku tentang kejadian yang semalam sudah ku alami. Aku
bangun dari ranjang lalu bergegas mencari nenek untuk menceritakan soal
kejadian semalam. Setelah mencari ke penjuru rumah, aku justru mendapati nenenk
sedang menyapu halaman belakang rumah. Yah memang biasanya nenek ku selalu
bangun pukul empat pagi untuk memasak dan mencuci, jadi wajar jika jam segini dia
hanya perlu menyapu halaman.
“Mbah, Mbah tahu soal
pohon beringin yang ada di lapangan kampung sebelah?” tanya ku sambil duduk di
teras belakang rumah.
“Pohon beringin yang di
lapangan luas itu?” nenek bertanya balik.
“Iya mbah. Mbah tahu
sesuatu ga ?”
“Oh itu, yang Mbah
tahu, kata orang-orang yang suka lewat situ malam-malam, tempat itu ada
penghuninya. Ada yang bilang pernah liat pocong, tapi banyak juga yang bilang
pernah di ketawain sama kuntilanak.” Ungkap nenek ku.
“Emangnya kenapa tempat
itu bisa jadi angker mbah?” tanya ku semakin penasaran.
“Jadi, dulu di deket
pohon beringin itu ada rumah yang dihuni sama kakek dan nenek yang udah cukup
tua. Mereka dulunya imigran dari pulau jawa, jadi jauh dari keluarga. Sedangkan
anaknya merantau ke Malaysia untuk menjadi TKW tapi tak kunjung pulang. Lalu
sekitar 3tahun lalu, terjadi pembunuhan terhadap kakek dan nenek tersebut, dan
sampai sekarang pelakunya masih tidak diketahui. Dan yang lebih buruknya lagi,
karena mereka tidak punya ahli waris, rumah mereka diratakan dengan tanah untuk
memperluas lapangan yang ada di kampung sebelah tersebut. Menurut beberapa
warga, hal tersebut lah yang menjadikan arwah kakek dan nenek tersebut tidak
tenang, sehingga sering menghantui warga sekitar yang lewat lapangan tersebut
di malam hari.” Ujar nenek yang aku dengerkan sambil minum kopi hitam.
“Oh iya mbah satu lagi,
emang pohon bambu itu juga ada penghuninya?” Tanya ku sambil menunjuk pohon
bambu yang semalam terdengar suara kuntilanak.
“Ah engga, dari dulu
mbah belum pernah ngalamin hal-hal aneh soal pohon bambu itu” kata nenek setelah
menengok ke pohon tersebut.
Mendengar
penjelasan itu, pikiran ku pun kembali menjadi sedikit kacau.
“Apa mungkin kuntilanak
yang dilapangan ngikutin gua sampe ke rumah?”
“Prakkkkk”, tiba-tiba
terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.
“Ah ga mungkin, paling
itu cuma kebetulan doang.” Pikir ku dengan jantung yang kembali deg-degan.
Aku
pun segera menghabiskan kopi hitam tadi, dan kemudian bergegas berjalan menuju
lapangan sambil berharap semoga motor dan kamera masih di sana dan baik-baik
saja.