Jumat, 22 Juni 2018

Pohon Beringin di bawah Ribuan Bintang





Namaku Arif, seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri yang ada di Karawang. Berhubung sekarang sedang liburan semester dan aku pun jenuh dengan kehidupan kota, jadi ku putuskan untuk menghabiskan waktu liburan di rumah Nenek ku yang berada di suatu kampung yang cukup pedalaman di kota Lampung. Ku sebut cukup pedalaman, karena memang tempat tersebut sangat jauh dari pusat kota, tidak ada sinyal, bahkan listrik pun masih cukup sulit. Tapi setidaknya di sana aku bisa mendapatkan suasana pedesaan asri yang tidak mungkin bisa didapatkan di lingkungan kostan dekat kampus ku.

Singkat cerita, pada suatu malam aku iseng-iseng ingin melakukan hobbyku yaitu fotografi. Berhubung sedang di kampung, jadi ku putuskan untuk keluar dan memotret gemerlapnya bintang-bintang yang tak mungkin bisa ditemukan di langit malam Karawang dekat kostan.
“Kamera siap, Lensa siap, Tripod ada, Remote shutter ada, Kopi, Gelas, Air panas, Cemilan, Lampu senter. OK semua siap” ucap ku sambil mendata semua peralatan yang akan di butuhkan untuk memotret bintang malam ini.
Setelah semua peralatan siap, langsung ku keluarkan motor dari ruang tamu dan pamit untuk pergi keluar malam ini.
Ditemani motor butut yang sudah usang, aku pergi berkeliling di sekitar kampung untuk mencari tempat yang cocok untuk motret malam ini. “Padahal baru jam 10 malem, tapi rasa dinginnya nusuk sampai ke tulang” ujar ku sambil terus berkeliling bahkan hingga ke kampung sebelah.
Sepanjang perjalanan, earphone putih terus melekat pada telingaku, alunan musik barat terus berdendang untuk mengurangi rasa bosan selama berkeliling mencari spot foto, karena memang sepanjang jalan hanya rasa sunyi dan dinginnya angin malam yang menemani, bahkan tidak ada satupun orang yang berpapasan dengan ku.
Setelah pergi cukup jauh, tiba-tiba sepasang mata ini mengunci target dengan cepat, yaitu sebuah spot foto yang sangat menarik. Tanpa pikir panjang aku langsung tancap gas ke tempat tersebut. Lapangan yang cukup luas dengan sebuah pohon beringin besar yang terlihat sudah cukup tua.
“Wah gila, bagus bener nih tempat. Pohon beringinnya cocok nih buat dijadiin objek foto di bawah bintang” kata ku merasa beruntung.
Sesaat setelah aku mengatakan hal tersebut, dengan tiba-tiba motor yang ku tunggangi mati begitu saja.
“Dehhh motor mogok nih ? Emang udah waktunya masuk museum nih motor. Untung aja mogoknya di tempat yang pas” keluh ku tanpa ada pikiran apapun yang aneh-aneh.
Tidak pakai lama, langsung saja ku bongkar semua isi tas untuk mempersiapkan semua alat motret beserta kopi dan cemilan untuk menemani malam ini. Karena kali ini foto yang akan aku ambil adalah jejak bintang atau dalam istilah fotografi adalah “star trails. Untuk membuat foto tersebut dibutuhkan kesabaran dan hasil foto dengan jumlah yang banyak, maka tentu malam ini akan menjadi malam yang panjang.
Di saat kamera sedang ku setting dengan pengaturan tertentu, entah kenapa tiba tiba aku merasa kalau suasana di tempat ini agak mencekam, dan hawa di tempat ini seakan-akan terasa semakin dingin dari sebelumnya.
“Ah kenapa tadi gua ga bawa speaker buat nyetel musik yaa, Duh.” Ucap ku keras-keras untuk mengurangi rasa takut yang mulai mendekap.
Kemudian ketika aku sedang serius memutar ring lensa untuk mengunci fokus kamera, tiba-tiba dari lcd kamera terlihat ada bayangan putih yang lewat dengan sangat cepat bagai angin berlalu.
“Apaan tuh ?”
Aku mulai agak panik karena hal tersebut. Pandanganku secara acak mulai menyusuri tiap inchi lapangan tersebut, namun tidak terdapat apapun kecuali pohon beringin besar yang ada di depanku.
“Ah paling cuma perasaan gua doang”
Kalimat pamungkas itu keluar untuk menenangkan tubuh ku yang dibuat tegang oleh kejadian barusan. Karena memang sayang kalau langsung pulang tanpa hasil apa-apa. Setelah settingan kamera selesai, remote shutter ku tekan untuk mulai mengabadikan keindahan bintang-bintang di tanah sumatera ini.
Jam tangan menunjukkan pukul satu dini hari. Tanpa terasa sudah lebih dari 2 jam aku berada di tempat ini. Amunisi kopi dan cemilan sudah habis, kamera juga telah merekam lebih dari 100 buah foto.
“Kenapa gua ga sekalian bkin vlog aja ya. Kan lumayan buat ngisi channel youtube gua.” Pikirku sebelum merapihkan peralatan dan pulang.
“What’s up guys ? Ketemu lagi sama gua, kali ini gua bakal ngajarin kalian cara bikin foto star trail”
Ku gunakan kamera depan HP yang di bantu lighting dari senter yang tadi kuganakan untuk penerangan dalam membuat video tersebut. Tapi aktivitas ku terhenti ditengah-tengah vlog ketika ku dapati dari layar HP sebuah bayangan putih yang seperti meloncat-loncat berada jauh di belakang.
“Apaan tuh putih-putih ?” seru ku sambil memicingkan mata menatap layar HP.
“Masa iya malem-malem gini ada orang maen loncat-loncatan di lapangan ? Gabut amat tuh orang.”
Lalu dengan tiba-tiba dia berhenti dan berbelok menghadap kearahku sambil terus meloncat. Karena masih penasaran, akhirnya aku berbalik badan dan setelah ku perhatikan dengan seksama, mulai tampak dengan jelas raut wajah rusak tak beraturan berwarna hitam pekat dengan sebuah mata merah bulat menyala yang dibalut dalam kain kafan putih kotor kecokelatan.
“Pooo-Pooo-Poooocong........”
Aku sontak berteriak keras-keras ketika pocong tersebut semakin mendekat. Tidak pakai lama, langsung saja aku berlari menuju motor tua yang tadi mogok di pinggir lapangan.
“Oh iya kamera gua!” seru ku teringat kamera lupa belum di bawa.
Ketika membalikkan badan untuk mengambil kamera, tiba-tiba ku dapati pocong tersebut sudah berada persis di dekat ku.
“Aaaaaaaa”
Aku teriak refleks karena terkejut melihat wajah rusak pocong itu dari dekat. Alhasil aku langsung lari menuju motor tanpa peduli lagi dengan kamera. Rasa panik dan takut yang bercampur aduk membuat ku tidak bisa memasukkan kontak motor dengan benar.
“Ah sial, nih motor kenapa ga mau nyala ?” umpat ku.
Teringat kalau motor tadi mogok membuat rasa panik ku semakin menjadi-jadi.
“Kenapa mas ?”
Suara perempuan terdengar dari jok belakang dan aku pun merasakan kalau ada tangan yang menyentuh pundak sebelah kiri ku. Dengan didekap rasa takut, aku memberanikan diri untuk berbalik menoleh secara perlahan. Dengan sangat mengejutkan, aku mendapati sosok perempuan berambut panjang urak-urakan dengan muka pucat pasi serta raut wajah yang muram tengah duduk di jok belakang. Mulutnya membuka kecil dan nampak gigi taring berwarna kuning kehitaman yang kemudian disusul dengan suara tawa khasnya.
“Kuuuu, Kuuuuu, Kuuuntilanak!!!!!”
Aku berteriak sejadi-jadinya ketika mengetahui ada sosok makhluk astral berada hanya beberapa senti di belakangku. Tanpa pikir panjang langsung ku ambil langkah seribu untuk pergi sejauh mungkin tanpa peduli lagi dengan kamera dan motor yang masih tertinggal di tempat tersebut.
Hampir 2km aku berlari dengan terbirit-birit, dan tak ada satu pun orang atau kendaraan yang berpapasan sejauh aku berlari. Merasa sudah cukup aman, aku mulai mengurangi kecepatan berlari dan kemudian berhenti, karena memang kedua kaki ini dihinggapi rasa capek dan juga gemetar yang bukan main karena rasa takut tersebut.
Penerangan jalan utama yang buruk karena hanya mengandalkan penerangan dari sinar bulan membuat bulu kuduk tak henti-hentinya berdiri. Keadaan itu diperburuk dengan fakta bahwa aku lupa jalan pulang. Lalu dengan samar-samar kudapati dari kejauhan ada sebuah cahaya yang sepertinya berasal dari seseorang yang berjalan mendekat dengan membawa obor.
“Permisi Kek, arah ke dusun5 lurus atau belok kanan ya Kek ?” tanyaku berusaha tetap sopan walau dengan nafas terengah-engah.
Kakek yang berbadan bungkuk tersebut tidak menjawab dan hanya terus berjalan saja.
“Permisi Kek!” seru ku agak tegas.
Lalu sang kakek pun berbalik muka tanpa menjawab pertanyaan yang sudah aku ajukan.
“Ya Allah, Ya Robbi”
Kembali ku ambil langkah seribu tanpa peduli apakah arah yang ku ambil ini benar atau salah, karena memang ketika Kakek tadi berbalik muka, tidak nampak bagian mulut, mata, ataupun hidungnya alias wajahnya rata. Jantung ku terasa ingin lepas dari tempatnya akibat semua penampakan yang ku lihat malam ini.
    Setelah cukup jauh aku berlari tanpa arah yang jelas, akhirnya aku berhasil sampai di depan pintu rumah dengan selamat.
“Mbah, Mbah... Buka pintunya...” sambil ku ketuk-ketuk pintu rumah karena aku takut akan ada kejadian aneh lagi
 Baru beberapa saat aku mengetuk-ketuk pintu, bukan pintu yang terbuka tetapi justru terdengar suara tawa perempuan berjubah putih tadi dari pohon bambu yang berada tidak jauh di belakang ku. Sontak saja hal itu membuat rasa takut ku semakin menjadi-jadi. Pintu terus ku gedor-gedor dengan sekuat tenaga agar nenek cepat membukakan pintu.
Pintu pun terbuka “Ono opo toh dek, ngetok pintu kok kayak orang habis dikejar setan aja...”
Tanpa peduli pertanyaan tersebut aku langsung masuk kerumah, dan berlari secepat mungkin ketempat tidur serta berselimut rapat-rapat. Aku bener-bener capek dan tidak habis pikir dengan semua kejadian malam ini. Semoga saja kamera dan motor ku baik-baik aja hingga mentari menjelang.
       Suara kokokkan ayam membangunkan ku. Langsung aku mengecek handphone dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Masih teringat dengan jelas di kepala ku tentang kejadian yang semalam sudah ku alami. Aku bangun dari ranjang lalu bergegas mencari nenek untuk menceritakan soal kejadian semalam. Setelah mencari ke penjuru rumah, aku justru mendapati nenenk sedang menyapu halaman belakang rumah. Yah memang biasanya nenek ku selalu bangun pukul empat pagi untuk memasak dan mencuci, jadi wajar jika jam segini dia hanya perlu menyapu halaman.
“Mbah, Mbah tahu soal pohon beringin yang ada di lapangan kampung sebelah?” tanya ku sambil duduk di teras belakang rumah.
“Pohon beringin yang di lapangan luas itu?” nenek bertanya balik.
“Iya mbah. Mbah tahu sesuatu ga ?”
“Oh itu, yang Mbah tahu, kata orang-orang yang suka lewat situ malam-malam, tempat itu ada penghuninya. Ada yang bilang pernah liat pocong, tapi banyak juga yang bilang pernah di ketawain sama kuntilanak.” Ungkap nenek ku.
“Emangnya kenapa tempat itu bisa jadi angker mbah?” tanya ku semakin penasaran.
“Jadi, dulu di deket pohon beringin itu ada rumah yang dihuni sama kakek dan nenek yang udah cukup tua. Mereka dulunya imigran dari pulau jawa, jadi jauh dari keluarga. Sedangkan anaknya merantau ke Malaysia untuk menjadi TKW tapi tak kunjung pulang. Lalu sekitar 3tahun lalu, terjadi pembunuhan terhadap kakek dan nenek tersebut, dan sampai sekarang pelakunya masih tidak diketahui. Dan yang lebih buruknya lagi, karena mereka tidak punya ahli waris, rumah mereka diratakan dengan tanah untuk memperluas lapangan yang ada di kampung sebelah tersebut. Menurut beberapa warga, hal tersebut lah yang menjadikan arwah kakek dan nenek tersebut tidak tenang, sehingga sering menghantui warga sekitar yang lewat lapangan tersebut di malam hari.” Ujar nenek yang aku dengerkan sambil minum kopi hitam.
“Oh iya mbah satu lagi, emang pohon bambu itu juga ada penghuninya?” Tanya ku sambil menunjuk pohon bambu yang semalam terdengar suara kuntilanak.
“Ah engga, dari dulu mbah belum pernah ngalamin hal-hal aneh soal pohon bambu itu” kata nenek setelah menengok ke pohon tersebut.
Mendengar penjelasan itu, pikiran ku pun kembali menjadi sedikit kacau.
“Apa mungkin kuntilanak yang dilapangan ngikutin gua sampe ke rumah?”
“Prakkkkk”, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.
“Ah ga mungkin, paling itu cuma kebetulan doang.” Pikir ku dengan jantung yang kembali deg-degan.
Aku pun segera menghabiskan kopi hitam tadi, dan kemudian bergegas berjalan menuju lapangan sambil berharap semoga motor dan kamera masih di sana dan baik-baik saja.
@AhmadNur_A